Banyak manfaat yang dapat kamu peroleh setelah membaca cerpen. Kamu dapat menangkap kehidupan yang dialami tokoh dalam cerita dan ikut merasakannya sehingga dapat dijadikan pengalaman hidup yang berarti.
Jika kamu akan meningkatkan kemampuan menulis, kamu dapat berlatih menuliskan kembali isi cerpen yang telah kamu baca dengan kalimat sendiri.
Hari panas terik. Kaca mata hitam tak kubuka ketika menulis pada bon: “1/2 Anker bier” dengan suatu kelegaan mengenakan segarnya minuman yang kupesan dalam hawa yang gersang ini. Di angkasa sedang berkeliling sebuah pesawat terbang yang mau mendarat.
Bunyinya yang berat menggetarkan udara sejuk di bawah atap “Airport”, restoran lapangan terbang Kemayoran tempat aku duduk.
Dengan keluh kenikmatan aku bersandar malas ke kursi memandang dengan setengah ngantuk pada landasan yang putih menyilaukan kena sinar matahari. Pelayanpelayan dengan giat berjalan kian ke mari dengan baju putih dan ikat kepala birunya, melayani tamu-tamu dari pelbagai bangsa.
Pesawat terbang yang sudah lama melayang-layang itu kini mendarat di landasan dan melancar sampai ke depan restoran: sebuah Constellation kepunyaan BOAC.
Penumpang penumpang anak-buahnya semua ke luar. Di belakangku kursi mengerak di lantai. Aku dengar suara lelaki berkata, “Sebentar lagi announcer akan memanggil. Nah Tina, selamat tinggal. Ini kunci mobil. Jangan lupa hari Jumat dua minggu lagi aku kaujemput di sini.” Kemudian aku dengar suara anak kecil,
“Bapa, bapa! Bapa mau pelgi?”
“Ya Nina, bapak pergi. Nina jangan cengeng ya, nanti bapak bawa boneka untuk Nina.”
“Boneka bappa? Boneka yang bisa tidul?”
“Ya, boneka yang bisa tidur, bisa membuka dan menutup mata. Juga bisa menangis.”
Kemudian suara wanita, “Lekaslah kembali, Dik. Kalau bisa sebelum dua minggu itu liwat. Kirim telegram supaya aku tahu.”
“Kuusahakan Tina, meskipun kansnya sedikit. Persiapan untuk mendirikan cabang di Singapura kurang lancar hingga sekarang. Karena itu aku datangi sendiri.”
“Bappa, bappa pelgi ke mana?” tanya anak kecil itu lagi. Dan kini aku melirik ke arah suara itu.
Lelaki yang bernama “Dik”, tengah berdiri sambil menutup tasnya. Istrinya yang dipanggil dengan nama “Tina” duduk memandang kepadanya dengan cara yang jadi idaman setiap suami. Nina, seorang gadis kecil di sekitar umur tiga tahun mencengkram celana ayahnya. “Pelgi ke mana bappa?” tanyanya lagi.
Ayah telah selesai menutup tas lalu duduk kembali dan memangku Nina sambil tersenyum.
“Bapak mau pergi terbang, Nina!”
“Ke mana Bappa?”
“Ke tempat dewi-dewi yang cantik, Nina.”
“Di mana itu Bappa?”
“Di sorga.”
“Di solga?”
“Ya.”
“Bappa bisa telbang, Bappa?”
“Tidak, manis, bapak naik burung, itu dia sudah menunggu.”
“Bulung Bappa?”
“Ya, itu dia.”
“Besal betul ya bappa, bulungnya!”
“Ya, nanti bapak dan banyak orang masuk ke perutnya.”
“Bappa dimakan oleh bulung itu?” tanya Nina tercengang dan khawatir.
“Tidak,” ayahnya ketawa. “Bapak masuk lewat lubang itu di perutnya.”
Sejurus Nina diam, kemudian ia mulai lagi.
“Bulungnya kok diam saja Bappa?”
“Ya, sekarang ia masih tidur.”
“Tidul?”
“Ya, masih tidur karena ia sangat lelah.”
“Nanti dia bangun, Bappa?”
“Ya, kalau mau terbang dia bangun lalu mengaum seperti singa.”
Anak kecil itu bertanya terus, tetapi tak begitu terang kedengaran karena announcer sedang memanggil para penumpang via loudspeaker.
Dengan ucapan dan gaya yang sama ia mengumumkan panggilan di dalam bahasa. Inggris, bahasa Indonesia dan Belanda. Kedua suami-istri beserta anaknya itu berdiri lalu menuju ke tempat duane. Dan aku melihat ke depan lagi.
Aku temui di mejaku sudah ada botol kecil “Ankerpils” dan sebuah gelas yang telah terisi.
Ketika gelas kuangkat ke mulut dari loudspeaker menggelombang dengan sayu “Auf Wiederseh’n”. Dan pikiranku hanyut oleh melodi nyanyian itu.
Tatkala itu aku lihat Nyonya Tina kembali dan berjalan lewat restoran menuju ke pagar besi yang memisahkan landasan dengan pekarangan “Airport”, tempat sudah banyak orang berkerumun memandang kepada plane yang mau berangkat.
Nina digendong pada pinggang kiri ibunya. Tak lama kemudian mereka dan orang-orang yang berkerumun di situ melambai-lambai kepada para penumpang yang mau naik. Dan loudspeaker terus mendendangkan “Auf Wiederseh’n, Auf Wiederseh’n, we’ll meet again sweetheart”.
Rupa-rupanya di repeat oleh sterwardess yang melayani record-changer.
Ketika propeller Connie itu mulai berputar, lagu “Auf Wiederseh’n” disusul oleh lagu “It’s the time to say good bye” yang lebih sentimentil dan merayu daripada lag pertama. Aku lihat beberapa gadis menangis dan pemandangan itu cocok benar pada latar belakang lagu itu.
Connie itu mulai bergerak dan lambaian tangan makin seru. Ketika itu aku membayar, lalu pergi. Pada hari berikutnya aku dengar kabar, bahwa Constellation itu jatuh terbakar habis di Singapura. Semua penumpang dari Jakarta telah tewas. Aku teringat kepada jawaban Dik kepada Nina, “Bapak mau ke sorga.”
Dua minggu. kemudian pada hari Jumat, aku dari percetakan “Martaco” terus ke Airport. Di pintu aku tertegun sebentar. Pada kursi yang di tempatinya dua minggu yang lalu duduk Nyonya Tina dengan Nina yang berdiri di dekatnya.
Tentu saja kursi tempat Dik duduk tempo hari kini kosong. Kebetulan sekali kursi “ku” juga kosong. Aku duduk dan memesan Spa Cola. Tepat ketika itu plane KLM dari Singapura datang.
Aku dengar kursi mengerak di lantai. Aku melirik lagi. Aku lihat Tina berdiri, Nina mencengkram kainnya. Wajahnya yang belia merah dan basah. Matanya bengkak.
Hidungnya kemerah-merahan. “Bunda, bappa datang?” tanya Nina. Ibunya menghempaskan dirinya ke kursi sambil menangis tersedu-sedu seraya mencoba meredupkannya di dalam sebuah sapu tangan.
Pelayan-pelayan memandang penuh pengertian dari jauh. Rupa-rupanya mereka juga tahu.
“Bunda, bunda kok nangis saja?” tanya Nina tak mengerti. Tina meraih anaknya ke pangkuannya. “Diamlah Nina, diamlah dulu, manis,” katanya terisak-isak. Dan Nina tak bertanya lagi, meskipun caranya memandang kepada ibunya membayangkan tanda tanya yang besar.
Sebentar-sebentar ia menengok kepada 2 pesawat terbang yang berdiri di dekat restoran, sebuah plane BOAC yang mau berangkat dan yang satunya plane KLM yang baru datang. Ketika itu “Auf Wiederseh’n” mengalun lagi. Tangis Tina sudah reda. Dan Nina tidak betah diam saja.
“Bunda,” tanyanya. “Bunda bappa kok tidak datang-datang dari solga, Bunda?” Tina tak segera menjawab pertanyaan anaknya, rupa-rupanya ia berjuang melawan tangis.
“Tidak Nina, Bapak tidak pulang.” “Kenapa Bunda? Bappa bilang mau bawa boneka dali solga. Boneka yang bisa tidul dan nangis. Kenapa tidak datang Bunda?” “Tidak Nina,” tangis ibunya. “Bapak tidak akan pulang dari sorga. Mari kita pulang manis, mari pulang.”
la melambai pelayan yang sudah menanti, membayar, lalu berjalan dengan Nina dalam dukungan. Aku pandang mereka sampai lenyap di balik pintu. Dari loudspeaker suara merayu, “It’s the time to say goodbye.” Dan deru propeller menggetarkan angkasa.
Ada beberapa hal yang perku kamu perhatikan dalam menuliskan kembali isi cerpen yang dibaca, di antaranya adalah:
(1) pencerita (kamu) berposisi sebagai orang ketiga,
(2) cerita tersebut sesuai dengan isi cerpen jangan menambah dengan idemu sendiri,
(3) cerita sesuai dengan alur/urutan peristiwa cerpen yang kamu baca, dan
(4) kalimat hendaknya yang runtut dan mudah dipahami oleh orang lain.Perhatikan contoh berikut.
Jika kamu akan meningkatkan kemampuan menulis, kamu dapat berlatih menuliskan kembali isi cerpen yang telah kamu baca dengan kalimat sendiri.
Contoh Membaca Cerpen dengan Saksama
Bacalah cerpen berikut dengan saksama! Kemudian kerjakan pelatihan yang menyertainya!
KEMAYORAN 1954
Bunyinya yang berat menggetarkan udara sejuk di bawah atap “Airport”, restoran lapangan terbang Kemayoran tempat aku duduk.
Dengan keluh kenikmatan aku bersandar malas ke kursi memandang dengan setengah ngantuk pada landasan yang putih menyilaukan kena sinar matahari. Pelayanpelayan dengan giat berjalan kian ke mari dengan baju putih dan ikat kepala birunya, melayani tamu-tamu dari pelbagai bangsa.
Pesawat terbang yang sudah lama melayang-layang itu kini mendarat di landasan dan melancar sampai ke depan restoran: sebuah Constellation kepunyaan BOAC.
Penumpang penumpang anak-buahnya semua ke luar. Di belakangku kursi mengerak di lantai. Aku dengar suara lelaki berkata, “Sebentar lagi announcer akan memanggil. Nah Tina, selamat tinggal. Ini kunci mobil. Jangan lupa hari Jumat dua minggu lagi aku kaujemput di sini.” Kemudian aku dengar suara anak kecil,
“Bapa, bapa! Bapa mau pelgi?”
“Ya Nina, bapak pergi. Nina jangan cengeng ya, nanti bapak bawa boneka untuk Nina.”
“Boneka bappa? Boneka yang bisa tidul?”
“Ya, boneka yang bisa tidur, bisa membuka dan menutup mata. Juga bisa menangis.”
Kemudian suara wanita, “Lekaslah kembali, Dik. Kalau bisa sebelum dua minggu itu liwat. Kirim telegram supaya aku tahu.”
“Kuusahakan Tina, meskipun kansnya sedikit. Persiapan untuk mendirikan cabang di Singapura kurang lancar hingga sekarang. Karena itu aku datangi sendiri.”
“Bappa, bappa pelgi ke mana?” tanya anak kecil itu lagi. Dan kini aku melirik ke arah suara itu.
Lelaki yang bernama “Dik”, tengah berdiri sambil menutup tasnya. Istrinya yang dipanggil dengan nama “Tina” duduk memandang kepadanya dengan cara yang jadi idaman setiap suami. Nina, seorang gadis kecil di sekitar umur tiga tahun mencengkram celana ayahnya. “Pelgi ke mana bappa?” tanyanya lagi.
Ayah telah selesai menutup tas lalu duduk kembali dan memangku Nina sambil tersenyum.
“Bapak mau pergi terbang, Nina!”
“Ke mana Bappa?”
“Ke tempat dewi-dewi yang cantik, Nina.”
“Di mana itu Bappa?”
“Di sorga.”
“Di solga?”
“Ya.”
“Bappa bisa telbang, Bappa?”
“Tidak, manis, bapak naik burung, itu dia sudah menunggu.”
“Bulung Bappa?”
“Ya, itu dia.”
“Besal betul ya bappa, bulungnya!”
“Ya, nanti bapak dan banyak orang masuk ke perutnya.”
“Bappa dimakan oleh bulung itu?” tanya Nina tercengang dan khawatir.
“Tidak,” ayahnya ketawa. “Bapak masuk lewat lubang itu di perutnya.”
Sejurus Nina diam, kemudian ia mulai lagi.
“Bulungnya kok diam saja Bappa?”
“Ya, sekarang ia masih tidur.”
“Tidul?”
“Ya, masih tidur karena ia sangat lelah.”
“Nanti dia bangun, Bappa?”
“Ya, kalau mau terbang dia bangun lalu mengaum seperti singa.”
Anak kecil itu bertanya terus, tetapi tak begitu terang kedengaran karena announcer sedang memanggil para penumpang via loudspeaker.
Dengan ucapan dan gaya yang sama ia mengumumkan panggilan di dalam bahasa. Inggris, bahasa Indonesia dan Belanda. Kedua suami-istri beserta anaknya itu berdiri lalu menuju ke tempat duane. Dan aku melihat ke depan lagi.
Aku temui di mejaku sudah ada botol kecil “Ankerpils” dan sebuah gelas yang telah terisi.
Ketika gelas kuangkat ke mulut dari loudspeaker menggelombang dengan sayu “Auf Wiederseh’n”. Dan pikiranku hanyut oleh melodi nyanyian itu.
Tatkala itu aku lihat Nyonya Tina kembali dan berjalan lewat restoran menuju ke pagar besi yang memisahkan landasan dengan pekarangan “Airport”, tempat sudah banyak orang berkerumun memandang kepada plane yang mau berangkat.
Nina digendong pada pinggang kiri ibunya. Tak lama kemudian mereka dan orang-orang yang berkerumun di situ melambai-lambai kepada para penumpang yang mau naik. Dan loudspeaker terus mendendangkan “Auf Wiederseh’n, Auf Wiederseh’n, we’ll meet again sweetheart”.
Rupa-rupanya di repeat oleh sterwardess yang melayani record-changer.
Ketika propeller Connie itu mulai berputar, lagu “Auf Wiederseh’n” disusul oleh lagu “It’s the time to say good bye” yang lebih sentimentil dan merayu daripada lag pertama. Aku lihat beberapa gadis menangis dan pemandangan itu cocok benar pada latar belakang lagu itu.
Connie itu mulai bergerak dan lambaian tangan makin seru. Ketika itu aku membayar, lalu pergi. Pada hari berikutnya aku dengar kabar, bahwa Constellation itu jatuh terbakar habis di Singapura. Semua penumpang dari Jakarta telah tewas. Aku teringat kepada jawaban Dik kepada Nina, “Bapak mau ke sorga.”
Dua minggu. kemudian pada hari Jumat, aku dari percetakan “Martaco” terus ke Airport. Di pintu aku tertegun sebentar. Pada kursi yang di tempatinya dua minggu yang lalu duduk Nyonya Tina dengan Nina yang berdiri di dekatnya.
Tentu saja kursi tempat Dik duduk tempo hari kini kosong. Kebetulan sekali kursi “ku” juga kosong. Aku duduk dan memesan Spa Cola. Tepat ketika itu plane KLM dari Singapura datang.
Aku dengar kursi mengerak di lantai. Aku melirik lagi. Aku lihat Tina berdiri, Nina mencengkram kainnya. Wajahnya yang belia merah dan basah. Matanya bengkak.
Hidungnya kemerah-merahan. “Bunda, bappa datang?” tanya Nina. Ibunya menghempaskan dirinya ke kursi sambil menangis tersedu-sedu seraya mencoba meredupkannya di dalam sebuah sapu tangan.
Pelayan-pelayan memandang penuh pengertian dari jauh. Rupa-rupanya mereka juga tahu.
“Bunda, bunda kok nangis saja?” tanya Nina tak mengerti. Tina meraih anaknya ke pangkuannya. “Diamlah Nina, diamlah dulu, manis,” katanya terisak-isak. Dan Nina tak bertanya lagi, meskipun caranya memandang kepada ibunya membayangkan tanda tanya yang besar.
Sebentar-sebentar ia menengok kepada 2 pesawat terbang yang berdiri di dekat restoran, sebuah plane BOAC yang mau berangkat dan yang satunya plane KLM yang baru datang. Ketika itu “Auf Wiederseh’n” mengalun lagi. Tangis Tina sudah reda. Dan Nina tidak betah diam saja.
“Bunda,” tanyanya. “Bunda bappa kok tidak datang-datang dari solga, Bunda?” Tina tak segera menjawab pertanyaan anaknya, rupa-rupanya ia berjuang melawan tangis.
“Tidak Nina, Bapak tidak pulang.” “Kenapa Bunda? Bappa bilang mau bawa boneka dali solga. Boneka yang bisa tidul dan nangis. Kenapa tidak datang Bunda?” “Tidak Nina,” tangis ibunya. “Bapak tidak akan pulang dari sorga. Mari kita pulang manis, mari pulang.”
la melambai pelayan yang sudah menanti, membayar, lalu berjalan dengan Nina dalam dukungan. Aku pandang mereka sampai lenyap di balik pintu. Dari loudspeaker suara merayu, “It’s the time to say goodbye.” Dan deru propeller menggetarkan angkasa.
Sumber: Nugroho Notosusanto, Tiga Kota 1959:22
Gambar: Cara Menceritakan Kembali Isi Cerpen |
Cara Menuliskan Kembali Isi Cerpen dengan Kalimat Sendiri
Menceritakan kembali isi cerpen dengan kalimat saendiri merupakan langkah awal untuk berlatih menulis kreatif.Ada beberapa hal yang perku kamu perhatikan dalam menuliskan kembali isi cerpen yang dibaca, di antaranya adalah:
(1) pencerita (kamu) berposisi sebagai orang ketiga,
(2) cerita tersebut sesuai dengan isi cerpen jangan menambah dengan idemu sendiri,
(3) cerita sesuai dengan alur/urutan peristiwa cerpen yang kamu baca, dan
(4) kalimat hendaknya yang runtut dan mudah dipahami oleh orang lain.Perhatikan contoh berikut.
0 Response to "Contoh Cara Menuliskan dan Menceritakan Kembali Isi Cerpen"
Posting Komentar