Pembahasan kali ini adalah tentang cara menemukan tema, latar dan penokohan pada cerpen, contoh cerpen singkat dan unsur intrinsiknya, unsur intrinsik dalam cerpen, contoh unsur intrinsik cerpen, unsur-unsur intrinsik cerpen, serta cerpen dan unsur intrinsiknya.
Banyak cerpen yang ditulis oleh pengarang dan dikumpulkan menjadi satu buku yang disebut dengan antologi cerpen atau buku kumpulan cerpen. Antologi cerpen atau buku kumpulan cerpen memuat beberapa cerpen yang dikumpulkan menjadi satu jilid buku.
Antologi cerpen dapat berupa kumpulan cerpen dari satu penulis saja atau dari beberapa penulis yang dikumpulkan menjadi satu buku.
Para penulis cerpen yang sudah menulis kumpulan cerpen: M. Kasim, Nugroho Noto Susanto, Idrus, Ajip Rosidi, Satya Graha Hoerip, Trisno Yuwono, Suwardi Idris, A.A. Navis, Bur Rasuanto, Bastari Asnin, Subagio Sastro Wardoyo, Riyono Pratiko, Umar Kayam, Toha Mochtar, Danarto, Seno Gumiro Adji Darma, Gerson Poyk, Budi Darma, N.H. Dini, Ahmad Tohari, Budi Darma, Jenar Maesa Ayu, dan lain-lain.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen terdiri atas tema, tokoh, penokohan, latar, alur, serta pesan atau amanat. Unsur-unsur itu terdapat dalam cerita itu sendiri. Unsur-unsur cerpen dapat ditemukan setelah membaca cerpen secara keseleruhan. Dengan menemukan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen maka isi cerpen dapat dipahami dengan baik.
Sebetulnya saya ini orangnya memang melarat. Buktinya sudah hampir sepuluh tahun saya merancama ( Merantau Cari Makan) di Jakarta, sebuah rumah yang wajar saja belum punya. Palagi rumah ukuran real estate itu. Kalau dulu presiden kita pernah mengumumkan, bahwa tiga dari sepuluh penduduk RI berada di bawah garis kemiskinan, terus terang saja, terus terang saja saya termasuk golongan ’tiganya’-nya itu.
Sungguhpun demikian saya masih merasa bahagia dan lebih kaya dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sebab sampai hari ini saya belum pernah merasakan apa itu lapar.
Maklum jelek-jelek orang tua saya lelaki masih ada jaminan hari tunya dari departemen tempat beliau mengabdi selama tiga puluh tahun. Coba bandingkan dengan saudara-saudara saya yang diseret nasib tidur bergelandangan dari emper ke emper. Jagankan kelaparan, puasa tiga hari nonstop pun telah menjadi acara rutin bagi mereka.
Suatu sore pernah saya kedatangan tamu yang tak diundang. Waktu itu saya sedang duduk rileks di beranda rumah, sambil makan roti tawar. Tiba-tiba seorang pengemis lelaki menyodorkan telapak tangannya pada saya. Orangnya kurus kering. Pakaian dekil dan bertambal san-sini. “Sedekah Tuan. Kasihanilah orang tak punya.” Demikian sang pengemis melontarkan premis pada saya.
Mungkin karena saya masih diam dan bermuka tak damai, kembali si pengemis dengan mimik yang meyakinkan menadahkan tangan. “Tolonglah beri makan sedikit saja Tuan. Dari kemarin saya belum makan, Lapar Tuan…”
Terdorong oleh perasaan kemanusiaan yang sama-sama punya hak atas hasil bumi nusantara ini, saya berdiri. Lalu sepotong roti tawar saya comot dari piring. Lantas roti itu saya lemparkan kepadanya. Pas jatuh di lantai dekat kakinya.
Saya kira ia akan cepat-cepat menerkam roti itu dan dengan rakusnya melumatnya habis. Sebab , ia lapar bukan? Eh, tau-taunya si pengemis ini tertegun. Matanya yang tadi sayu melebihi mata seorang morphinis, kini menatap saya tajam. Sambil menyeka keringat kelaparan yang meleleh di keningnya, pengemis itu berkata dengan sopan kepada saya.
“Maaf, Tuan saya memang lapar… Tetapi cara Tuan memberi saya tadi mengakibatkan saya kenyang. Terima kasih, Tuan!” Kemudian ia berlalu. Sempat saya lihat Bapak pengemis yang berusia empat puluh tahunan ini berlinang air mata.
Entah berapa lama saya tertegun. – kehilangan sukma – setelah kepergian pengemis itu, saya tidak begitu tahu. Yang jelas apa yang barusan terjadi akibat kekasaran saya cukup berkesan. Saya terpukul. Saya jadi malu pada diri sendiri.
Baru GNP $240 soknya bukan main. Entah mengapa, tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Saya sungguh menyesal. Beribu sesalan mengalir pada waktu itu. Sadarlah saya. Segembel-gembelnya seorang gelandangan, toh masih kenal hidup bukanlah kebun binatang. Pengemis tadi meskipun lapar, meskipun ia miskin dari saya, ternyata ia masih punya harga diri. Suatu hal yang tadinya saya abaikan.
Mengingat itu, saat itu juga saya meratap menyesali diri. Memang saya ini manusia tak beradab. Sia-sialah tiap hari saya mengenakan pakaian rapi dan sesekali pakai dasi ke pesta kawan, ternyata saya ini melebihi kasarnya manusia-manusia zaman purba. Lebih biadab rasanya dibandingkan dengan nenek moyang saya yang berasal dari Hindia Belakang.
Dalam hal yang sama tetapi versi lain, saya menemui lagi persoalan harga diri. Seperti yang anda ketahui juga agaknya, saya ini orangnya sangat suka bertualang. Sebab – terus terang saja – dalam usia semuda ini suratan nasib telah menyeret saya untuk jadi seorang pelaut. Yakni suatu dunia yang penuh dengan pelbagai penglaman hidup aneh-aneh.
Waktu itu, kapal kami sedang sandar (discharge) di dermaga Napoli, Italia. Sebagai anak muda yang cenderung tertarik pada dunia tulis menulis ketyimbang dunia laut dalam sebuah bar terlibat dengan seorang pelaut kebangsaan Spanyol.
“Are you an Indonesia?” tanya si bule yang memperkenalkan dirinya dengan nama Loudwgig Michael itu.
“Yes. What do you want?” balas saya dalam bahasa Inggris pasaran.
“Oh no. Saya cuma ingin tahu saja. Saya sering mendengar nama negeri Anda, tetapi saya tidak tahu di mana letaknya entah di mana.” Demikian si Loudwig dalam bahasa Inggris bertanya lugu. Tampak sekali ia bertanya ini benar-benar seperti orang tidak tahu.
Mulanya saya merasa gembira, karena cita-cita saya untuk menjadi durta bangsa di negeri orang terlaksana. Karena kebodohan Spanyol ini mau tak mau saya harus memberi ia penjelasan. Tetapi, di segi lain batin saya menjerit.
Di abad kedua puluh ini masih juga ada manusia yang tak kenal negeri saya? Indonesia nan kaya raya? Bener-bener keterlaluan!
Kemudian berceritalah saya kepadanya. Bahwa Indonesia itu adalah sebuah negara yang paling besar di Asia Tenggara. Dalam soal jumlah penduduk, nomor lima di dunia. Dan dengan tegas saya tandaskan , bahwa Indonesia bukanlah sebesar Bali sebagaimana yang ia sangka. Tapi kalau Bali adalah bagian kecil dari Indonesia, itu memang benar. Begitu saya menjelaskan berapi-api padanya.
Apakah ia mengerti atau tidak dengan penerangan saya dalam bahasa Inggris asal jadi ini, saya tidak begitu tahu. Yang jelas kelihatan si Loudwig kelihatan mengangguk-angguk. Sedangkan mengangguk itu kata orang adalah pertanda paham.
“Kamu bilang negara kamu kaya?”katanya lagi”Anehnya kok masih saja meminta dari negara lain. Why?”
“Stop!” bentak saya tersinggung. Walau bagaimana pun melaratnya saya hidup di Jakarta, kalau bangsa asing telah mulai menyebut negara saya peminta-minta, demi Tuhan, mati pun saya mau duel dengannya. “Kamu jangan beranggapan demikian Loudwig,” kata saya sambil membelalakkan mata.
“ Kami bukan meminta, tau? Tetapi negara-negatra itulah yang hijau matanya melihat kesuburan negeri kami.” Saya lihat ia tertegun. Jelas menunggu saya untuk memperjelas lebih lanjut dengan kalimat yang sempurna.”My friend, Indonesia is rich of its natural sesources…. Indonesia itu adalah negara kaya raya! Do you believe?
“Y…. y…. yes. I do” dan ia mengangguk. “But… but…”
“Jangan bilang but lagi,” saya memotong. “Di negeri kami semua bisa di tanam dan tumbuh dengan subur. Kayu dibuang begitu saja bisa tumbuh jadi makanan. Tau nggak kau sahabat?”
“Ukh… ukh…” (logat Spanyol medoknya keluar). Dia kembali mengangguk. Mimiknya mengingatkan saya pada S. Bagio di layar televisi. Karena harkat kebangsaan saya di singgunya tadi, maka saya makin bersemangat buat jadi Deppen di bar Napoli ini.
Semua perbendaharaan katakata saya dalam bahasa Inggris saya keluarkan, agar si Loudwig ini dapat memahami apa-apa yang saya terangkan padanya. “Karena semua bisa hidup dan ditanam di negeri kami, sampai-sampai bangsa lain ingin pula tanam uang kertas di sana. Sebab sesuatu yang ditanam – di negeri kami – selalu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. You know?”
Karena ia tetap diam dan kelihatannya gelisah ketika mendengar bunyi seruling kapal dari arah pelabuhan, maka saya pun memaklumi. Rupanya ia ingin cepat kembali ke kapalnya. Kami sama-sama berdiri menjabat salam perpisahan. Maka saya tepuk-tepuk bahunya, dan dalam bahasa Inggri saya lontarkan padanya basa-basi orang Timur. Leluhur kami mengajarkan, bagaimana pun pahitnya sebuah derita, namun yang keluar harus tetap manis.
“Loudwig,” kata saya sambil membuang puntung rokok ke lantai. “Bila kapal kamu suatu ketika nanti singgal di Indonesia, jangan lupa mampir ke Jakarta, ya. Di sana nanti kamu akan dapat melihat bahwa negeri kami tidak seperti yang kalian sangka. Di Jakarta nanti kamu akan menemui sebuah tugu yang puncaknya ada emas 30 kilogram. Bahkan di sana ada juga stadion yang terbesar di Asia tenggara, ada mesjid yang terbesa di Asia Tenggara…”
Dan sudah tentu saya tidak akan menyebutkan bahwa negeri kami dulu demi “saudara tua” terpaksa film ’Romusha’ dilarang beredar.
Cerpen di atas pada dasarnya membicarakan masalah harga diri. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pengemis yang tidakmau makan makanan yang diberikan oleh tokoh akau karena makanan itu diberikan dengan cara dilemparkan seperti majikan yang memberi makan pada anjingnya.
Harga dirinya merasa terinjak-injak. Selain itu tokoh aku juga merasakan hal yang sama ketika ke-indonesiaannya dilecehkan oleh bangsa asing. Dengan demikian tema dalam cerpen itu sesuai dengan judulnya yaitu harga diri.
b. Menentukan Latar
Latar atau setting adalah keterangan mengenai tempat, ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa. Peristiwa dalam cerpen di atas terjadi di di rumha tokoh aku dan di atas kapal. Peristiwa di atas kapal terjadi ketika tokoh aku sedang berlayar.
Suasana pada saat pengemis datang di rumah tokoh aku cukup menyedihkan dan menyesakkan dada. Suasana di atas kapal cukup menegangkan walaupun pada akhirnya tidak terjadi perkelahian.
c. Penokohan
Penokohan adalah penciptaan citra tokoh dalam cerita. Pengaran menggambarkan keadaan fisik dan psikis tokoh. Gambaran jasmani dan karakter tokoh disampaikan pengarang melalui beberapa cara, misalnya penggambaran secara langsung sifat, perilaku, maupun fisik tokoh, melalui pembicaraan tokoh lain, atau melalui sikap tokoh dalam menghadapi masalah.
Tokoh dalam cerita dapat dikelompokkan berdasarkan perannya atau berdasarkan karakter. Berdasarkan perannya tokoh dapat dikelompokkan menjadi tokoh utama dan tokoh sampingan, sedangkan berdasarkan karakternya ada tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Tokoh utama yang terdapat dalam cerpen di atas adalah aku, sedangkan tokoh sampingan yang mendukung cerita antara lain pengemis dan Loudwig. Tokoh aku dalam cerita itu digambarkan sebagai orang yang kurang memiliki kepedulian kepada orang lain.
Ia memandang orang lain dari penampilan luarnya. Ia mudah merendahkan orang yang secara fisik lebih rendah darinya. Pada sisi lain ia juga digambarkan sebagai sosok yang nasionalis. Terbutki ia sangat marah ketika negaranya direndahkan bangsa lain.
Banyak cerpen yang ditulis oleh pengarang dan dikumpulkan menjadi satu buku yang disebut dengan antologi cerpen atau buku kumpulan cerpen. Antologi cerpen atau buku kumpulan cerpen memuat beberapa cerpen yang dikumpulkan menjadi satu jilid buku.
Antologi cerpen dapat berupa kumpulan cerpen dari satu penulis saja atau dari beberapa penulis yang dikumpulkan menjadi satu buku.
Para penulis cerpen yang sudah menulis kumpulan cerpen: M. Kasim, Nugroho Noto Susanto, Idrus, Ajip Rosidi, Satya Graha Hoerip, Trisno Yuwono, Suwardi Idris, A.A. Navis, Bur Rasuanto, Bastari Asnin, Subagio Sastro Wardoyo, Riyono Pratiko, Umar Kayam, Toha Mochtar, Danarto, Seno Gumiro Adji Darma, Gerson Poyk, Budi Darma, N.H. Dini, Ahmad Tohari, Budi Darma, Jenar Maesa Ayu, dan lain-lain.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen terdiri atas tema, tokoh, penokohan, latar, alur, serta pesan atau amanat. Unsur-unsur itu terdapat dalam cerita itu sendiri. Unsur-unsur cerpen dapat ditemukan setelah membaca cerpen secara keseleruhan. Dengan menemukan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen maka isi cerpen dapat dipahami dengan baik.
Gambar: Contoh Cerpen Singkat |
Contoh Cerpen Singkat
Bacalah cerpen berikut ini!Harga Diri
Sungguhpun demikian saya masih merasa bahagia dan lebih kaya dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sebab sampai hari ini saya belum pernah merasakan apa itu lapar.
Maklum jelek-jelek orang tua saya lelaki masih ada jaminan hari tunya dari departemen tempat beliau mengabdi selama tiga puluh tahun. Coba bandingkan dengan saudara-saudara saya yang diseret nasib tidur bergelandangan dari emper ke emper. Jagankan kelaparan, puasa tiga hari nonstop pun telah menjadi acara rutin bagi mereka.
Suatu sore pernah saya kedatangan tamu yang tak diundang. Waktu itu saya sedang duduk rileks di beranda rumah, sambil makan roti tawar. Tiba-tiba seorang pengemis lelaki menyodorkan telapak tangannya pada saya. Orangnya kurus kering. Pakaian dekil dan bertambal san-sini. “Sedekah Tuan. Kasihanilah orang tak punya.” Demikian sang pengemis melontarkan premis pada saya.
Mungkin karena saya masih diam dan bermuka tak damai, kembali si pengemis dengan mimik yang meyakinkan menadahkan tangan. “Tolonglah beri makan sedikit saja Tuan. Dari kemarin saya belum makan, Lapar Tuan…”
Terdorong oleh perasaan kemanusiaan yang sama-sama punya hak atas hasil bumi nusantara ini, saya berdiri. Lalu sepotong roti tawar saya comot dari piring. Lantas roti itu saya lemparkan kepadanya. Pas jatuh di lantai dekat kakinya.
Saya kira ia akan cepat-cepat menerkam roti itu dan dengan rakusnya melumatnya habis. Sebab , ia lapar bukan? Eh, tau-taunya si pengemis ini tertegun. Matanya yang tadi sayu melebihi mata seorang morphinis, kini menatap saya tajam. Sambil menyeka keringat kelaparan yang meleleh di keningnya, pengemis itu berkata dengan sopan kepada saya.
“Maaf, Tuan saya memang lapar… Tetapi cara Tuan memberi saya tadi mengakibatkan saya kenyang. Terima kasih, Tuan!” Kemudian ia berlalu. Sempat saya lihat Bapak pengemis yang berusia empat puluh tahunan ini berlinang air mata.
Entah berapa lama saya tertegun. – kehilangan sukma – setelah kepergian pengemis itu, saya tidak begitu tahu. Yang jelas apa yang barusan terjadi akibat kekasaran saya cukup berkesan. Saya terpukul. Saya jadi malu pada diri sendiri.
Baru GNP $240 soknya bukan main. Entah mengapa, tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Saya sungguh menyesal. Beribu sesalan mengalir pada waktu itu. Sadarlah saya. Segembel-gembelnya seorang gelandangan, toh masih kenal hidup bukanlah kebun binatang. Pengemis tadi meskipun lapar, meskipun ia miskin dari saya, ternyata ia masih punya harga diri. Suatu hal yang tadinya saya abaikan.
Mengingat itu, saat itu juga saya meratap menyesali diri. Memang saya ini manusia tak beradab. Sia-sialah tiap hari saya mengenakan pakaian rapi dan sesekali pakai dasi ke pesta kawan, ternyata saya ini melebihi kasarnya manusia-manusia zaman purba. Lebih biadab rasanya dibandingkan dengan nenek moyang saya yang berasal dari Hindia Belakang.
Dalam hal yang sama tetapi versi lain, saya menemui lagi persoalan harga diri. Seperti yang anda ketahui juga agaknya, saya ini orangnya sangat suka bertualang. Sebab – terus terang saja – dalam usia semuda ini suratan nasib telah menyeret saya untuk jadi seorang pelaut. Yakni suatu dunia yang penuh dengan pelbagai penglaman hidup aneh-aneh.
Waktu itu, kapal kami sedang sandar (discharge) di dermaga Napoli, Italia. Sebagai anak muda yang cenderung tertarik pada dunia tulis menulis ketyimbang dunia laut dalam sebuah bar terlibat dengan seorang pelaut kebangsaan Spanyol.
“Are you an Indonesia?” tanya si bule yang memperkenalkan dirinya dengan nama Loudwgig Michael itu.
“Yes. What do you want?” balas saya dalam bahasa Inggris pasaran.
“Oh no. Saya cuma ingin tahu saja. Saya sering mendengar nama negeri Anda, tetapi saya tidak tahu di mana letaknya entah di mana.” Demikian si Loudwig dalam bahasa Inggris bertanya lugu. Tampak sekali ia bertanya ini benar-benar seperti orang tidak tahu.
Mulanya saya merasa gembira, karena cita-cita saya untuk menjadi durta bangsa di negeri orang terlaksana. Karena kebodohan Spanyol ini mau tak mau saya harus memberi ia penjelasan. Tetapi, di segi lain batin saya menjerit.
Di abad kedua puluh ini masih juga ada manusia yang tak kenal negeri saya? Indonesia nan kaya raya? Bener-bener keterlaluan!
Kemudian berceritalah saya kepadanya. Bahwa Indonesia itu adalah sebuah negara yang paling besar di Asia Tenggara. Dalam soal jumlah penduduk, nomor lima di dunia. Dan dengan tegas saya tandaskan , bahwa Indonesia bukanlah sebesar Bali sebagaimana yang ia sangka. Tapi kalau Bali adalah bagian kecil dari Indonesia, itu memang benar. Begitu saya menjelaskan berapi-api padanya.
Apakah ia mengerti atau tidak dengan penerangan saya dalam bahasa Inggris asal jadi ini, saya tidak begitu tahu. Yang jelas kelihatan si Loudwig kelihatan mengangguk-angguk. Sedangkan mengangguk itu kata orang adalah pertanda paham.
“Kamu bilang negara kamu kaya?”katanya lagi”Anehnya kok masih saja meminta dari negara lain. Why?”
“Stop!” bentak saya tersinggung. Walau bagaimana pun melaratnya saya hidup di Jakarta, kalau bangsa asing telah mulai menyebut negara saya peminta-minta, demi Tuhan, mati pun saya mau duel dengannya. “Kamu jangan beranggapan demikian Loudwig,” kata saya sambil membelalakkan mata.
“ Kami bukan meminta, tau? Tetapi negara-negatra itulah yang hijau matanya melihat kesuburan negeri kami.” Saya lihat ia tertegun. Jelas menunggu saya untuk memperjelas lebih lanjut dengan kalimat yang sempurna.”My friend, Indonesia is rich of its natural sesources…. Indonesia itu adalah negara kaya raya! Do you believe?
“Y…. y…. yes. I do” dan ia mengangguk. “But… but…”
“Jangan bilang but lagi,” saya memotong. “Di negeri kami semua bisa di tanam dan tumbuh dengan subur. Kayu dibuang begitu saja bisa tumbuh jadi makanan. Tau nggak kau sahabat?”
“Ukh… ukh…” (logat Spanyol medoknya keluar). Dia kembali mengangguk. Mimiknya mengingatkan saya pada S. Bagio di layar televisi. Karena harkat kebangsaan saya di singgunya tadi, maka saya makin bersemangat buat jadi Deppen di bar Napoli ini.
Semua perbendaharaan katakata saya dalam bahasa Inggris saya keluarkan, agar si Loudwig ini dapat memahami apa-apa yang saya terangkan padanya. “Karena semua bisa hidup dan ditanam di negeri kami, sampai-sampai bangsa lain ingin pula tanam uang kertas di sana. Sebab sesuatu yang ditanam – di negeri kami – selalu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. You know?”
Karena ia tetap diam dan kelihatannya gelisah ketika mendengar bunyi seruling kapal dari arah pelabuhan, maka saya pun memaklumi. Rupanya ia ingin cepat kembali ke kapalnya. Kami sama-sama berdiri menjabat salam perpisahan. Maka saya tepuk-tepuk bahunya, dan dalam bahasa Inggri saya lontarkan padanya basa-basi orang Timur. Leluhur kami mengajarkan, bagaimana pun pahitnya sebuah derita, namun yang keluar harus tetap manis.
“Loudwig,” kata saya sambil membuang puntung rokok ke lantai. “Bila kapal kamu suatu ketika nanti singgal di Indonesia, jangan lupa mampir ke Jakarta, ya. Di sana nanti kamu akan dapat melihat bahwa negeri kami tidak seperti yang kalian sangka. Di Jakarta nanti kamu akan menemui sebuah tugu yang puncaknya ada emas 30 kilogram. Bahkan di sana ada juga stadion yang terbesar di Asia tenggara, ada mesjid yang terbesa di Asia Tenggara…”
Dan sudah tentu saya tidak akan menyebutkan bahwa negeri kami dulu demi “saudara tua” terpaksa film ’Romusha’ dilarang beredar.
Muchwardi Muchtar
Singapura, Agustus 1979
(Horizon, No. 9, September 1981)
Cerpen dan Unsur Intrinsiknya
a. Menentukan TemaCerpen di atas pada dasarnya membicarakan masalah harga diri. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pengemis yang tidakmau makan makanan yang diberikan oleh tokoh akau karena makanan itu diberikan dengan cara dilemparkan seperti majikan yang memberi makan pada anjingnya.
Harga dirinya merasa terinjak-injak. Selain itu tokoh aku juga merasakan hal yang sama ketika ke-indonesiaannya dilecehkan oleh bangsa asing. Dengan demikian tema dalam cerpen itu sesuai dengan judulnya yaitu harga diri.
b. Menentukan Latar
Latar atau setting adalah keterangan mengenai tempat, ruang, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa. Peristiwa dalam cerpen di atas terjadi di di rumha tokoh aku dan di atas kapal. Peristiwa di atas kapal terjadi ketika tokoh aku sedang berlayar.
Suasana pada saat pengemis datang di rumah tokoh aku cukup menyedihkan dan menyesakkan dada. Suasana di atas kapal cukup menegangkan walaupun pada akhirnya tidak terjadi perkelahian.
c. Penokohan
Penokohan adalah penciptaan citra tokoh dalam cerita. Pengaran menggambarkan keadaan fisik dan psikis tokoh. Gambaran jasmani dan karakter tokoh disampaikan pengarang melalui beberapa cara, misalnya penggambaran secara langsung sifat, perilaku, maupun fisik tokoh, melalui pembicaraan tokoh lain, atau melalui sikap tokoh dalam menghadapi masalah.
Tokoh dalam cerita dapat dikelompokkan berdasarkan perannya atau berdasarkan karakter. Berdasarkan perannya tokoh dapat dikelompokkan menjadi tokoh utama dan tokoh sampingan, sedangkan berdasarkan karakternya ada tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Tokoh utama yang terdapat dalam cerpen di atas adalah aku, sedangkan tokoh sampingan yang mendukung cerita antara lain pengemis dan Loudwig. Tokoh aku dalam cerita itu digambarkan sebagai orang yang kurang memiliki kepedulian kepada orang lain.
Ia memandang orang lain dari penampilan luarnya. Ia mudah merendahkan orang yang secara fisik lebih rendah darinya. Pada sisi lain ia juga digambarkan sebagai sosok yang nasionalis. Terbutki ia sangat marah ketika negaranya direndahkan bangsa lain.
s
BalasHapus