Berikut ini adalah pembahasan tentang sejarah Papua yang meliputi asal usul papua, asal mula papua, sejarah papua, asal usul irian jaya, asal mula irian jaya, sejarah irian jaya, sejarah papua merdeka, sejarah papua nugini.
Dulu, Bung Karno bersumpah: sebelum fajar menyingsing tanggal 1 Mei 1963, Sang Saka Merah Putih harus sudah berkibar di Puncak Cartenz.
Dan sumpah ini terwujud. Lalu tanggal 1 Mei 1963 disebut hari “kembalinya” Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Maka puncak Cartenz pun segera “dinasionalisasi” menjadi Puncak Soekarno. Dan kini diubah lagi menjadi Jayawijaya. Dulu, ibu kotanya disebut Soekarnopura. Kini Jayapura.
Kepentingan politik membuat Bung Karno mengubah nama gunung, nama kota, dan nama provinsi itu. Dan kepentingan politik pula yang membuat Pak Harto mengganti semuanya, menjadi nama-nama yang kita kenal sekarang.
Tapi nama Papua itu muncul di zaman Gus Dur. Kita belum tahu adakah perubahan nama itu akan langgeng?
Kita bahkan belum tahu bagaimana kelak nasib Papua. “Raksasa” ini sekarang masih meneruskan tidur panjangnya. Nyenyak di tengah deru mekanisasi: penambangan, pembabatan hutan, dan perkebunan sawit.
Lonceng gereja di Jayapura yang “kloneng, kloneng.” memecah sunyi, dan gema suara azan, yang lembut, dan syahdu, tak mengusik tidurnya.
Bahkan gunungnya diruntuhkan-dikeduk dan menjadi sumur yang dalam oleh Freeport yang lebih raksasa pun Papua tetap lelap seperti bayi yang tak punya masalah.
Di zaman Bung Karno yang gegap gempita dengan semangat dan sikap anti-”nekolim” neokolonialisme pun Papua tak terlibat dan tak dilibatkan.
Kita sengaja membiarkan Papua tertidur? Tampaknya tidak. Saya menyaksikan, pelan-pelan Tanah Papua bangun.
Tapi mungkin masih penuh kebingungan, seperti halnya para pemuda dalam kisah “Ashabul Kahfi”, saat mereka bangun dari tidur panjang pula, sebagaimana digambarkan di dalam kitab suci Al Quran. Mereka tak sadar zaman telah berputar jauh meninggalkannya.
Pada tahun 1963 dulu, saya masih kelas V sekolah dasar, dan turut menyanyikan lagu-lagu wajib dengan jiwa bergelora, dan agak menantang:
Lama-lama saya tahu mengapa Papua “dibiarkan”, dalam “sleeping beauty”-nya. Dan saya pun paham, mengapa ungkapan “untuk kejayaan nusa dan bangsa” dalam bait lagu tadi tak dengan sendirinya membuat pembangunan menetes secara adil ke bawah hingga menjadi “untuk kejayaan Papua”. Apa makna “nusa bangsa” yang abstrak itu?
Di sana memang pernah dan masih, terpatri nama-nama “jaya”: Irian Jaya, Jayapura, dan Jayawijaya. Tapi siapa saat ini yang sebenarnya tetap jaya-sentosa di bumi Papua, yang tetap sedih, miskin, dan merana?
Pendidikan mereka rendah. Kesehatan mereka buruk. Kenyamanan mereka rusak. Hidup jadi penuh rasa tak nyaman dan saling curiga. Penduduknya bahkan tergusur secara sosial-ekonomi menjadi kaum marginal di negeri sendiri.
Nilai-nilai dan kebudayaan lokal tersingkir oleh kekuatan ekonomi dan desakan sosial pendatang yang kuat, agresif, dan kapitalistik. Pelan-pelan mereka menjadi tontonan.
Tapi akankah kita biarkan pula mereka menjadi sekadar penonton dalam pertun-jukan akbar: “membangun” kembali Papua, lewat percepatan pembangunan yang diatur di dalam Instruksi Presiden sekarang?
Minggu lalu, perwakilan negara-negara donor datang membawa misi: kepedulian, kemurahan hati, dan persaudaraan, sambil “menggotong” dana pembangunan sebagai bukti kemurahan hati memajukan saudara yang tertinggal.
Dalam pertemuan seminggu itu Pak Gubernur bagaikan memegang cambuk dan membunyikannya: “Cetar. cetar.” sebagai aba-aba untuk membangunkan kembali Papua yang tidur.
Dan para bupati pun siap menantikan perintah. Dari sana kemudian para bupati membangunkan para camat, yang segera pula membangunkan para kepala desa maupun kepala suku.
Dan serentak para pemimpin tingkat bawah yang secara riil mengomando rakyat itu pun membangunkan mereka.
Agenda para donor dan kontribusi lembaga swadaya masyarakat lokal, dan peran partnership dalam pembangunan di tingkat kecamatan membantu gubernur, untuk meyakinkan bahwa program berjalan dan membawa manfaat bagi warga setempat, disesuaikan dengan arah dan strategi gubernur.
Kurang lebih beginilah jalannya kepemimpinan lokal, di tangan Papua sendiri, untuk membangun Papua. Kini semua siap menyambut fajar menyingsing, bukan untuk “kejayaan nusa bangsa” yang terlalu abstrak, melainkan, untuk “kejayaan Papua” sendiri.
Kesehatan penduduk membaik. Pendidikan meningkat. Rasa aman menyelimuti mereka siang malam. Dan sandang-pangan diperoleh lebih mudah. Pendek kata, Papua jaya.
Sumber: “Papua” oleh Mohammad Sobary, dimuat dalam Harian Kompas, 24 Februari 2008.
Asal Usul Papua
Dulu, namanya Irian Barat. Kemudian diganti Irian Jaya. Lalu demi akomodasi politik yang secara kultural dianggap lebih harmonis, Irian Jaya diganti Papua. Inilah namanya sekarang.Dulu, Bung Karno bersumpah: sebelum fajar menyingsing tanggal 1 Mei 1963, Sang Saka Merah Putih harus sudah berkibar di Puncak Cartenz.
Dan sumpah ini terwujud. Lalu tanggal 1 Mei 1963 disebut hari “kembalinya” Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Maka puncak Cartenz pun segera “dinasionalisasi” menjadi Puncak Soekarno. Dan kini diubah lagi menjadi Jayawijaya. Dulu, ibu kotanya disebut Soekarnopura. Kini Jayapura.
Kepentingan politik membuat Bung Karno mengubah nama gunung, nama kota, dan nama provinsi itu. Dan kepentingan politik pula yang membuat Pak Harto mengganti semuanya, menjadi nama-nama yang kita kenal sekarang.
Tapi nama Papua itu muncul di zaman Gus Dur. Kita belum tahu adakah perubahan nama itu akan langgeng?
Gambar: Papua |
Kita bahkan belum tahu bagaimana kelak nasib Papua. “Raksasa” ini sekarang masih meneruskan tidur panjangnya. Nyenyak di tengah deru mekanisasi: penambangan, pembabatan hutan, dan perkebunan sawit.
Lonceng gereja di Jayapura yang “kloneng, kloneng.” memecah sunyi, dan gema suara azan, yang lembut, dan syahdu, tak mengusik tidurnya.
Bahkan gunungnya diruntuhkan-dikeduk dan menjadi sumur yang dalam oleh Freeport yang lebih raksasa pun Papua tetap lelap seperti bayi yang tak punya masalah.
Di zaman Bung Karno yang gegap gempita dengan semangat dan sikap anti-”nekolim” neokolonialisme pun Papua tak terlibat dan tak dilibatkan.
Kita sengaja membiarkan Papua tertidur? Tampaknya tidak. Saya menyaksikan, pelan-pelan Tanah Papua bangun.
Tapi mungkin masih penuh kebingungan, seperti halnya para pemuda dalam kisah “Ashabul Kahfi”, saat mereka bangun dari tidur panjang pula, sebagaimana digambarkan di dalam kitab suci Al Quran. Mereka tak sadar zaman telah berputar jauh meninggalkannya.
Pada tahun 1963 dulu, saya masih kelas V sekolah dasar, dan turut menyanyikan lagu-lagu wajib dengan jiwa bergelora, dan agak menantang:
Cukup sudah masa janji/ cukup sudah sabar menanti/ cukup sudah derita dialami/ kini tiba saat rakyat bertindak/ mari bersatu bebaskan Irian/ untuk kejayaan nusa dan bangsa....”Kemudian datang pembangunan. Dan saya tahu ketidakadilan di dalamnya. Lama-lama saya tahu ada kepentingan politik yang membuat ketidakadilan itu terjadi.
Lama-lama saya tahu mengapa Papua “dibiarkan”, dalam “sleeping beauty”-nya. Dan saya pun paham, mengapa ungkapan “untuk kejayaan nusa dan bangsa” dalam bait lagu tadi tak dengan sendirinya membuat pembangunan menetes secara adil ke bawah hingga menjadi “untuk kejayaan Papua”. Apa makna “nusa bangsa” yang abstrak itu?
Di sana memang pernah dan masih, terpatri nama-nama “jaya”: Irian Jaya, Jayapura, dan Jayawijaya. Tapi siapa saat ini yang sebenarnya tetap jaya-sentosa di bumi Papua, yang tetap sedih, miskin, dan merana?
Pendidikan mereka rendah. Kesehatan mereka buruk. Kenyamanan mereka rusak. Hidup jadi penuh rasa tak nyaman dan saling curiga. Penduduknya bahkan tergusur secara sosial-ekonomi menjadi kaum marginal di negeri sendiri.
Nilai-nilai dan kebudayaan lokal tersingkir oleh kekuatan ekonomi dan desakan sosial pendatang yang kuat, agresif, dan kapitalistik. Pelan-pelan mereka menjadi tontonan.
Tapi akankah kita biarkan pula mereka menjadi sekadar penonton dalam pertun-jukan akbar: “membangun” kembali Papua, lewat percepatan pembangunan yang diatur di dalam Instruksi Presiden sekarang?
Minggu lalu, perwakilan negara-negara donor datang membawa misi: kepedulian, kemurahan hati, dan persaudaraan, sambil “menggotong” dana pembangunan sebagai bukti kemurahan hati memajukan saudara yang tertinggal.
Dalam pertemuan seminggu itu Pak Gubernur bagaikan memegang cambuk dan membunyikannya: “Cetar. cetar.” sebagai aba-aba untuk membangunkan kembali Papua yang tidur.
Dan para bupati pun siap menantikan perintah. Dari sana kemudian para bupati membangunkan para camat, yang segera pula membangunkan para kepala desa maupun kepala suku.
Dan serentak para pemimpin tingkat bawah yang secara riil mengomando rakyat itu pun membangunkan mereka.
Agenda para donor dan kontribusi lembaga swadaya masyarakat lokal, dan peran partnership dalam pembangunan di tingkat kecamatan membantu gubernur, untuk meyakinkan bahwa program berjalan dan membawa manfaat bagi warga setempat, disesuaikan dengan arah dan strategi gubernur.
Kurang lebih beginilah jalannya kepemimpinan lokal, di tangan Papua sendiri, untuk membangun Papua. Kini semua siap menyambut fajar menyingsing, bukan untuk “kejayaan nusa bangsa” yang terlalu abstrak, melainkan, untuk “kejayaan Papua” sendiri.
Kesehatan penduduk membaik. Pendidikan meningkat. Rasa aman menyelimuti mereka siang malam. Dan sandang-pangan diperoleh lebih mudah. Pendek kata, Papua jaya.
Sumber: “Papua” oleh Mohammad Sobary, dimuat dalam Harian Kompas, 24 Februari 2008.
0 Response to "Sejarah Lengkap Asal Usul Papua"
Posting Komentar