Semangat antiglobalisasi sedang marak di berbagai negara. Bukan hanya di negara-negara berkembang yang kerap menjadi “ikon” ketertindasan ekonomi, tetapi juga di negara-negara maju.
Bentuk yang sedang populer adalah penolakan terhadap masuknya investor asing sebagai pemilik perusahaan besar. Alasannya, perusahaan tersebut bersifat strategis sehingga beralihnya sebagian kepemilikan ke inves-tor asing akan mengancam kepentingan nasional.
Pemerintah Perancis menghambat pengambilalihan perusahaan energi, Suez, oleh perusahaan energi Italia, Enel. Di Italia bank sen-tral berusaha menghalangi pembelian sebuah bank bernama Antonveneta oleh bank dari Belanda, ABN AMRO.
Bagaimana posisi Indonesia dalam kecenderungan seperti itu? Apakah dampak globalisasi terhadap kesejahteraan masyarakat?
Di Indonesia, politisi terkesan antipasar dan antiasing ketika tidak menjadi pembuat kebijakan. Sebaliknya, ketika menjabat, baik di lembaga eksekutif maupun legis-latif, mereka sangat kompromistis.
Fakta menunjukkan beberapa tokoh politik pengkritik keberadaan investasi asing di Indonesia tidak melakukan apa pun ketika menduduki jabatan penting. Ada juga tokoh politik yang getol menentang privatisasi, tetapi sama getolnya memprivatisasi BUMN ketika terjadi pengambil kebijakan.
Isu-isu nasionalisme ampuh digunakan politisi dalam posisi berbeda. Pertama, sebagai pengambil kebijakan, isu ini dapat mengalihkan ketidakpuasan publik terhadap buruknya kinerja pemerintah. Kedua, sebagai oposisi, isu ini dapat menarik simpati publik sekaligus mendelegitimasi lawan politik.
Newsweek edisi 20 Maret 2006 tepat menggambarkan hal ini. Manfaat globalisasi bersifat tidak tampak di mata orang kebanyakan. Sebaliknya, “ancaman asing” begitu terlihat nyata. Jika politisi ingin memimpin, mereka harus menyampaikan hal yang menarik dan mudah dipahami pemilih.
Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat menghadapi globalisasi. Dasarnya adalah pemahaman keterkaitan globalisasi dengan kesejahteraan publik: apakah menguntungkan (better-off) atau merugikan (worse-off).
Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri dengan harga yang relatif tinggi. Ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha-pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan.
Terbukanya pasar ekspor tanaman hias di beberapa negara Asia Timur, misalnya, telah menumbuhkan perekonomian dan kesempatan kerja di daerah pedesaan di Cianjur dan Sukabumi. Haruskah pemerintah menghambat impor yang sering menyingkirkan industri dalam negeri?
Fakta menunjukkan, negara yang mengembangkan industri strategis substitusi impor (orientasi dalam negeri) gagal membangun perekonomiannya. Berbeda dengan negara seperti Korea Selatan yang menerapkan strategi ekspor (orientasi pasar in-ternasional).
Pemerintah juga harus melihat manfaat masuknya investasi asing untuk menutupi kekurangan modal pembangun-an sehingga tidak harus memperoleh pinjaman luar negeri da-lam jumlah besar.
Tentu saja pelaku ekonomi akan “tunggang langgang” mengikuti dinamika ekonomi internasional. Sektor yang tadinya merupakan primadona bisa tiba-tiba tersingkir oleh produk impor.
Namun, hanya dengan kompetisi perekono-mian yang kuat kita bisa tumbuh. Namun, pemerintah harus menyediakan mekanisme pengamanan bagi “si kalah”, pene-gakan hukum, dan grand design pembangunan ekonomi.
Intinya, jangan mengambinghitamkan globalisasi dengan menggunakan jargon nasionalisme. Manfaatkanlah globalisasi secara obyektif sebagai kesempatan untuk mem-perbaiki kesejahteraan publik.
(Dikutip dari artikel Tata Mustasya dalam harian Kompas, Selasa 9 Mei 2006)
Bentuk yang sedang populer adalah penolakan terhadap masuknya investor asing sebagai pemilik perusahaan besar. Alasannya, perusahaan tersebut bersifat strategis sehingga beralihnya sebagian kepemilikan ke inves-tor asing akan mengancam kepentingan nasional.
Pemerintah Perancis menghambat pengambilalihan perusahaan energi, Suez, oleh perusahaan energi Italia, Enel. Di Italia bank sen-tral berusaha menghalangi pembelian sebuah bank bernama Antonveneta oleh bank dari Belanda, ABN AMRO.
Bagaimana posisi Indonesia dalam kecenderungan seperti itu? Apakah dampak globalisasi terhadap kesejahteraan masyarakat?
Nasionalisme politik
Semangat nasionalisme dan antiglobalisasi yang muncul sebenarnya serba semu. Kebijakan yang dibuat lebih merupakan “nasionalisme politik.” Tujuan utamanya, populisme untuk menarik simpati publik, bukan penyi-kapan terhadap kemudaratan globalisasi.Di Indonesia, politisi terkesan antipasar dan antiasing ketika tidak menjadi pembuat kebijakan. Sebaliknya, ketika menjabat, baik di lembaga eksekutif maupun legis-latif, mereka sangat kompromistis.
Fakta menunjukkan beberapa tokoh politik pengkritik keberadaan investasi asing di Indonesia tidak melakukan apa pun ketika menduduki jabatan penting. Ada juga tokoh politik yang getol menentang privatisasi, tetapi sama getolnya memprivatisasi BUMN ketika terjadi pengambil kebijakan.
Isu-isu nasionalisme ampuh digunakan politisi dalam posisi berbeda. Pertama, sebagai pengambil kebijakan, isu ini dapat mengalihkan ketidakpuasan publik terhadap buruknya kinerja pemerintah. Kedua, sebagai oposisi, isu ini dapat menarik simpati publik sekaligus mendelegitimasi lawan politik.
Newsweek edisi 20 Maret 2006 tepat menggambarkan hal ini. Manfaat globalisasi bersifat tidak tampak di mata orang kebanyakan. Sebaliknya, “ancaman asing” begitu terlihat nyata. Jika politisi ingin memimpin, mereka harus menyampaikan hal yang menarik dan mudah dipahami pemilih.
Indonesia memerlukan kebijakan yang tepat menghadapi globalisasi. Dasarnya adalah pemahaman keterkaitan globalisasi dengan kesejahteraan publik: apakah menguntungkan (better-off) atau merugikan (worse-off).
Buka peluang pasar baru
Secara umum, globalisasi mempengaruhi perekonomian lewat dua hal. Pertama, melalui perdagangan internasional dalam bentuk ekspor dan impor. Kedua, melalui arus modal dalam bentuk pinjaman dan investasi antarnegara.Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri dengan harga yang relatif tinggi. Ini tidak hanya berlaku bagi pengusaha-pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan.
Terbukanya pasar ekspor tanaman hias di beberapa negara Asia Timur, misalnya, telah menumbuhkan perekonomian dan kesempatan kerja di daerah pedesaan di Cianjur dan Sukabumi. Haruskah pemerintah menghambat impor yang sering menyingkirkan industri dalam negeri?
Fakta menunjukkan, negara yang mengembangkan industri strategis substitusi impor (orientasi dalam negeri) gagal membangun perekonomiannya. Berbeda dengan negara seperti Korea Selatan yang menerapkan strategi ekspor (orientasi pasar in-ternasional).
Pemerintah juga harus melihat manfaat masuknya investasi asing untuk menutupi kekurangan modal pembangun-an sehingga tidak harus memperoleh pinjaman luar negeri da-lam jumlah besar.
Tentu saja pelaku ekonomi akan “tunggang langgang” mengikuti dinamika ekonomi internasional. Sektor yang tadinya merupakan primadona bisa tiba-tiba tersingkir oleh produk impor.
Namun, hanya dengan kompetisi perekono-mian yang kuat kita bisa tumbuh. Namun, pemerintah harus menyediakan mekanisme pengamanan bagi “si kalah”, pene-gakan hukum, dan grand design pembangunan ekonomi.
Intinya, jangan mengambinghitamkan globalisasi dengan menggunakan jargon nasionalisme. Manfaatkanlah globalisasi secara obyektif sebagai kesempatan untuk mem-perbaiki kesejahteraan publik.
(Dikutip dari artikel Tata Mustasya dalam harian Kompas, Selasa 9 Mei 2006)
0 Response to "Pengaruh Globalisasi Terhadap Nasionalisme"
Posting Komentar