Berikut ini merupakan pembahasan tentang konflik politik pada masa demokrasi terpimpin yaitu diantaranya penyimpangan terhadap konstitusi, penyimpangan pada demokrasi terpimpin, penyimpangan terhadap uud 1945, penyimpangan demokrasi terpimpin, penyimpangan pada masa orde baru.
Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami perubahan struktur politik yang lebih baik.
Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku.
Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat akan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi.
Meskipun secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, kenyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya.
Sedangkan, dalam demokrasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden.
Menurut UUD 1945 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”.
Sedangkan, Sidang Umum MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
Penyimpangan Terhadap UUD 1945
Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bahwa Presiden Soekarno menjadi “pemimpin tunggal” dan sumber pedoman kehidupan bernegara.Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami perubahan struktur politik yang lebih baik.
Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku.
Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat akan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi.
Gambar: Presiden Soekarno |
Meskipun secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, kenyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu untuk memperlihatkan bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak.Sedangkan, terpimpin menurut UUD 1945 artinya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang dalam hal ini dipimpin oleh MPR.
Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR sebagai mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden ada di bawah MPR.Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”.
Sedangkan, dalam demokrasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden.
Menurut UUD 1945 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”.
Sedangkan, Sidang Umum MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
0 Response to "Penyimpangan Terhadap Konstitusi UUD 1945 Pada Masa Demokrasi Terpimpin"
Posting Komentar